Tulisan Tradisi Perempuan Melamar Laki-Laki di Lamongan ternyata mendapat respon paling banyak dari pembaca. Dari seribuan komentar di Facebook, kita dapat melihat beberapa hal, antara lain:
- Tradisi ini sampai sekarang masih ada walaupun hanya dilakukan sebagian kecil orang. Tidak terbatas di Lamongan Pantura tapi juga di Lamongan Selatan. Bahkan tidak hanya di Lamongan tapi juga di Tuban dan Bojonegoro.
- Banyak orang, terutama perempuan, menganggap tradisi ini sudah tidak sesuai zaman. “Wis ora usum!” Bahkan beberapa perempuan menolak dengan tegas. “Nggolek liyane wae. Isik akeh sing gelem.”
Pandangan seperti ini tampaknya muncul karena salah paham dengan tradisi. Walaupun yang melamar duluan adalah pihak perempuan, sebetulnya itu hanya persoalan siapa yang membuat gemblong lebih dulu.
Sebelum ada proses lamaran, pihak laki-laki tetap meminang lebih dulu, hanya saja tidak pakai prosesi membawa gemblong. Setelah kedua pihak sepakat, barulah ada prosesi lamaran formal dari pihak perempuan dengan membawa gemblong lemet dan kawan-kawan. Setelah itu pihak laki-laki melamar balik dengan membawa gemblong juga.
Jadi, tradisi ini tidak merendahkan perempuan, apalagi dengan ancaman, “Nik gak gelem nglamar disik, yo dadi perawan tuwo”. Ini hanya persoalan formalitas dan urut-urutan prosesi. Bukan karena si laki-laki jual mahal.
- Tradisi ini hanya dilakukan kalau kedua pihak masih menganut tradisi yang sama. Kalau perempuan berasal dari daerah yang tradisinya perempuan dilamar, maka yang berlaku adalah tradisi umum ini, yaitu laki-laki melamar duluan.
- Adanya latar belakang sejarah walaupun sudah tidak relevan dengan zaman sekarang. Versi sejarah yang paling banyak dipercaya adalah cerita laki-laki kembar anak adipati Lamongan zaman dulu, yaitu Panji Laras dan Panji Liris.
Keduanya dilamar oleh sepasang perempuan kembar anak adipati Kediri, yaitu Andansari dan Andanwangi. Tapi lamaran ini ditolak oleh pihak Panji Laras-Liris dengan alasan ala sinetron FTV, karena ternyata betis Andanwangi dan Andansari berbulu lebat. Singkat cerita, hikayat ini berakhir dengan tragedi saling bunuh antara orang Kediri dan orang Lamongan.
Dari hikayat ini kemudian muncul pantangan, yaitu laki-laki Lamongan tidak boleh menikah dengan perempuan Kediri. Tentu saja tabu ini sudah tidak relevan dengan zaman sekarang.
Hikayat ini terjadi di penghujung era Kerajaan Majapahit. Tapi hikayat tentang perempuan melamar laki-laki sudah ada sebelum era Majapahit, yaitu legenda Ande-Ande Lumut yang dilamar oleh Kleting Kuning bersaudara. Legenda ini terjadi pada masa Kerajaan Jenggala, beberapa abad sebelum kisah Panji Laras dan Panji Liris.
Tidak seperti hikayat Panji Laras-Liris yang berakhir bunuh-bunuhan, hikayat Ande-Ande Lumut berakhir bahagia. Persis seperti ungkapan dongeng, “Akhirnya mereka hidup bahagia selama-lamanya.”
Jadi kalau ada perempuan Lamongan melamar laki-laki, anggap saja itu Kleting Kuning dan Ande-Ande Lumut yang sedang menuju hidup bahagia selama-lamanya.
———————————————————————————————-
Untuk memperoleh update info dari LamonganOke,