Di balik rasanya yang manis-segar, tidak banyak yang tahu jika nira siwalan, yang biasa disebut legen, diambil dengan susah payah oleh para penyadapnya. Bukan hanya pendapatan yang tak seberapa, yang lebih miris, nyawa pun bisa jadi taruhannya!
Seorang lelaki tua mengendarai sepeda jengki yang tak kalah tua dengan pengendaranya. Dengan bawaan yang diletakkan di boncengan, ia tampak masih bertenaga mengayuh sepeda di usia 65 tahun. Jika beberapa orang seusianya bisa beristirahat di rumah, menunggu kiriman uang dari anaknya atau sekadar menunggu uang pensiun cair di tanggal muda, Pak Suwanu, lelaki tua pengendara sepeda itu, masih giat bekerja sebagai penyadap nira.
Bagi kita yang masih muda, jarak yang ia tempuh memang tak begitu jauh, hanya sekitar 1 km. Namun, bagi Pak Suwanu yang berjalan saja sudah membungkuk, perjalanan tidaklah menyenangkan. Belum lagi, bagi warga Paciran, Lamongan ini, mengayuh sepeda dan bersimpangan dengan truk-truk besar selalu waswas. Kita perlu mafhum, jalan raya yang dilewati Pak Suwanu merupakan jalan utama pantai utara antara Tuban dan Surabaya.
Bersamaan dengan bel sekolahan berbunyi, sekitar pukul 7 pagi, ia sampai di gubuknya. Gubuk kecil yang dibangun di atas kebun siwalan milik orang. Ukuran gubuk itu hanya sekitar 20 m2. Atapnya genting dan dinding lontar (daun siwalan) kering. Tinggi dindingnya tak sampai dua meter. Orang jangkung mesti membungkuk jika ingin masuk ke dalam. Gubuk ini bak rumah kedua bagi Suwanu. Ia tak perlu membayar kepada pemilik kebun. Sebab, ia sudah meminta izin. Lagi pula kebun itu memang tak dirawat oleh sang pemilik. Di situ, di gubuk itu, Suwanu menghabiskan waktu seharian, menyiapkan diri sebelum memanjat siwalan, menyimpan legen, membuat sirup nira siwalan, dan beristirahat.
Tak menunggu waktu lama, setelah memakir sepadanya, Suwanu segera menyiapkan belasan bumbung untuk menampung nira dari pohon yang akan ia panjat. Sementara itu, bumbung-bumbung lain sudah terpasang di atas pohon sejak kemarin sore dan siap untuk diturunkan.
Tak banyak yang tahu, jika sebelum dipasang, bumbung-bumbung itu diisi dengan sedikit campuran air dan getah kembang dari pohon, yang Suwanu sendiri tak tahu nama pohon itu. Air dan getah yang dicampurkan ini sangat sedikit sehingga tak mempengaruhi kualitas legen. Tujuannya, agar legen hasil sadapan tidak terasa asam. Jadi, kata Suwanu, kalau ada yang bertanya soal legen Paciran itu asli atau tidak? Jawabannya hampir selalu tidak. Sebab legen selalu dicampur dengan air getah kembang itu. “Beda lagi kalau tanyanya jelas, campuran apa, campuran gula pasir misalnya. Jawabannya bisa asli bisa tidak,” ujarnya.
Saat akan memanjat, Suwanu tak lupa memasang dua “senjata” andalan di lingkar perutnya yang kurus kering, sebilah golok dan sebuah pengait yang terbuat dari potongan bambu. Jangan salah, Suwanu bukan akan berkelahi. Ia membawa golok untuk memotong mayang siwalan. Sedangkan pengait, yang oleh warga sekitar Paciran biasa disebut cangkrian (bahasa jawa cangkrik = kait, cangkrikan = pengait), ia gunakan untuk membawa naik-turun bumbung-bumbung dari pohon siwalan.
Sekarang, semua sudah siap. Dengan telanjang dada dan badan yang terbungkuk, Suwanu berjalan menuju pohon yang akan ia panjat. Ada puluhan pohon siwalan di sekitar gubuknya. Namun, hanya enam pohon yang ia jadikan “ladang emas”. Siwalan memiliki dua jenis pohon, bertongkol bunga jantan dan betina. Bedanya, pohon siwalan bertongkol bunga jantan menghasilkan nira dalam jumlah yang lebih banyak daripada siwalan yang bertongkol bunga betina. Namun, siwalan yang bertongkol bunga betina dapat menghasilkan buah lebih banyak ketimbang siwalan yang bertongkol bunga jantan. Pak Suwanu sendiri hanya memanjat pohon yang menghasilkan banyak nira.
Pohon pertama yang akan Pak Suwanu panjat terletak beberapa meter di depan gubuk. Tingginya sekitar 10 meter. Pelan namun cekatan, tangan dan kakinya bertumpu pada tiap pijakan di batang pohon palma itu. Nyali bukan lagi persoalan. Ia yang sudah 40 tahunan menjadi penyadap nira siwalan, sudah kehilangan rasa takut akan ketinggian. Meski begitu, jika konsentrasinya hilang saat di atas pohon, jatuh yang berakibat luka parah sampai kematian menjadi taruhan.
“Pernah jatuh satu kali. Untung naiknya belum terlalu tinggi. Tanahnya juga empuk, habis hujan. Jadi tidak apa-apa. Tapi itu sudah dulu sekali,” terang lelaki yang sejak remaja sudah menyadap nira siwalan ini.
Sekitar 15 menit Suwanu berada di atas pohon. Ia mengganti bumbung yang sudah terisi legen dengan bumbung baru yang ia bawa dari bawah. Entah apa lagi yang ia lakukan di atas sana hingga begitu lama. Mungkin ia terlalu lelah dan beristirahat sejanak, mungkin juga ia menikmati pemandangan laut lepas yang bebas ia pandang dari atas. Ya, kebun siwalan di Paciran memang banyak yang berbatasan langsung dengan laut. Sungguh pemandangan yang tidak semua orang bisa menikmatinya.
Hari ini tampaknya kurang bersahabat dengan Suwanu. Dari delapan bumbung yang ia bawa turun, hanya dua liter legen yang ia dapat. Padahal, di musim kemarau seperti ini, biasanya ia bisa membawa turun 4-5 liter legen dari satu pohonnya. Mayang siwalan memang lebih banyak menghasilkan nira di musim kemarau daripada musim hujan. Selain itu, di musim hujan, air hujan juga bisa merembas masuk ke dalam bumbung yang dipasang untuk menampung nira. Itulah sebabnya mengapa legen di musim hujan rasanya tidak begitu manis.
Direbus lebih awet tapi kurang segar
Matahari mulai meninggi, sinarnya menembus sela daun-daun siwalan. Begitu ombak di laut mulai pasang – seperti yang digambarkan dalam syair D. Zawawi Imron – maka daun-daun siwalan berayun karena angin tak henti bersiul. Ah, indah sekali.
Mungkin ini salah satu pemandangan indah yang luput dari mata Pak Suwanu. Sebab, usai turun, ia masih harus memanjat pohon siwalan yang lain. Baru kira-kira pukul 10.00 nanti, ia kembali ke gubuk, mengolah legen, memberi makan delapan ekor kambingnya, dan beristirahat. Sejak dua tahun lalu, setelah istrinya meninggal, Pak Suwanu bekerja sendiri. “Istri saya sakit demam seharian, lalu tiba-tiba saja ia meninggal,” kenang Pak Suwanu yang membawa saya dalam suasana haru.
Kadang Pak Suwanu menjual begitu saja legen yang masih segar dalam botol kemasan air mineral 1,5 liter. Kadang juga ia rebus supaya lebih tahan lama. Legen yang direbus dan tidak, memiliki cita rasa yang sedikit berbeda. Legen yang tidak direbus rasanya manis segar, terdapat sensasi unik ketika sampai di tenggorokan, mirip seperti saat minum minuman bersoda. Sementara legen yang sudah direbus rasa manisnya bertambah karena volumenya berkurang akibat proses perebusan, tidak begitu segar, dan sensasi di tenggorokan juga berkurang.
Perbedaan rasa pada kedua legen ini tidaklah signifikan. Berbeda dengan legen yang sudah dicampur gula pasir, air kelapa, dan bahan lain yang ditambahkan untuk memperbanyak volume legen. Biasanya jika bahan-bahan tersebut ditambahkan, legen menjadi lebih cepat basi.
Legen segar tanpa direbus hanya mampu bertahan tak lebih dari 24 jam. Sedangkan jika direbus tanpa campuran, legen bisa tahan sampai dua hari. Lebih dari itu, legen terfermentasi menjadi tuak yang memabukkan. Atau jika terfermentasi lebih lama lagi, legen bisa menjadi cuka, salah satu bahan dapur yang kecut itu.
“Mestinya legen tak harus sampai jadi tuak . Sebelum basi bisa diolah menjadi sirup siwalan yang bisa tahan sampai dua minggu. Kalau pengen awet lagi, dibuat gula merah siwalan. Itu malah tahan sampai tiga bulan,” terang Pak Suwanu. Ia sendiri hanya menjual legen dan membuat sirup siwalan.
Menyadap nira pagi dan sore hari
Untuk sementara, tugas Pak Suwanu telah usai. Setelah berpanas-panasan di depan tungku yang terletak di tengah-tengah gubuk selama membuat sirup siwalan, sekarang, ia bisa beristirahat sembari menunggu para pelanggannya datang. Pak Suwanu tidak menjajakan legen dan sirup buatannya. Ia memiliki beberapa pelanggan setia, yakni pedagang-pedagang legen dan es dawet siwalan pinggir jalan dan konsumen yang datang langsung membeli di gubuk Pak Suwanu. “Banyak yang beli ke sini, dari pedagang sampai Pak Camat,” katanya bangga.
Menjadi penyadap nira siwalan, bagi Pak Suwanu, bukan hanya soal untung atau rugi. Selain tidak pernah membuat legen “KW”, ia selalu berkata apa adanya kepada para pelanggan. “Kalau legennya saya rebus, saya bilang saya rebus. Kalau tidak mau beli, ya tidak apa-apa, yang penting saya jujur,” tegasnya.
Pak Suwanu menjual legennya dengan harga Rp 5.000 per botol ukuran 1,5 liter. Sementara untuk sirup, ia jual Rp 30.000 untuk botol ukuran serupa, dan Rp 10.000 untuk botol ukuran 600 ml. Hasil yang didapat Pak Suwanu memang tak seberapa jika dibandingkan dengan peluh yang bercucur di badan dan risiko yang ia hadapi.
Kini matahari sudah benar-benar di atas kepala. Terasa panas menyengat. Terlebih udara di pesisir Paciran yang terkenal cukup panas, hingga berteduh di dalam gubuk Pak Suwanu pun masih terasa gerah. Saat seperti ini, Pak Suwanu gunakan untuk makan siang dengan bekal yang ia bawa dari rumah. Ia juga masih mempunyai waktu beberapa jam untuk berlesehan di dipan sambil nenunggu waktu sore, saat ia harus memanjat pohon-pohon siwalan lagi. Karena menyadap nira dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore.
Penyadap nira di Paciran tidak banyak yang seusia Pak Suwanu. Tapi, semangatnya bekerja masih belum pudar. Selama masih kuat memanjat pohon siwalan, ia akan terus menyadap nira, membuat sirup, dan “membagi manisnya” untuk semua pelanggannya.