Seorang wanita, yang berjalan terseok-seok sambil dirangkul suaminya, masuk ruang periksa. Kaki wanita itu terkilir setelah jatuh saat mengendarai sepeda motor. Setelah ia mengistirahatkan badannya di atas tempat tidur, Mahmudi langsung memeriksa kaki wanita tersebut dan melakukan proses penyembuhan.
Tak lama, sekitar 10 menit, pasutri itu keluar. Dari cara berjalannya, tampak kaki sang wanita masih belum sembuh betul. Namun, karena hanya terkilir, ia diperbolehkan untuk pulang dan kembali lima hari lagi untuk pemeriksaan ulang. Kata Mahmudi, ia masih harus kontrol sekitar lima kali secara rutin.
Sementara itu, belasan pasien Mahmudi yang lain tergolek di atas tempat tidur menjalani rawat inap. Mereka terpaksa harus menginap karena menderita patah tulang yang cukup parah dan syaraf yang terjepit.
—
Jika Anda berpikir Mahmudi adalah seorang dokter atau ahli medis, semetara tempat ia bekerja adalah rumah sakit, Anda salah besar. Mbah Mahmud, begitu Mahmudi akrab disapa, adalah tukang pijit spesialis masalah tulang dan syaraf. Sementara tempat pasien-pasiennya terbaring itu adalah rumah yang Mbah Mahmud “sulap” menyerupai sebuah ruang rawat inap. Lokasinya berada di Dusun Dempel, Desa Pangean, Maduran, Lamongan.
Di “klinik minimalisnya” ini Mbah Mahmud menangani semua pasien. Ia menangani pasien yang kontrol di sore hari. Setelah itu, ia memeriksa dan memijat pasien-pasien rawat inap. Untuk pasien yang baru pertama ke sana, baru saja mengalami kecelakaan misalnya, akan langsung ditangani begitu sampai di tempat praktek Mbah Mahmud. Pukul 12 malam pun.
Kemahiran Mbah Mahmud memijat, ia dapat secara turun-temurun. “Dari kakek buyut saya, turun terus sampai saya ini,” terang lelaki berambut gondrong ini.
Namun, ia tak memungkiri bahwa tak semua pasien yang bermasalah dengan tulang dan syaraf sanggup ia layani. Untuk orang yang patah tulang, Mbah Mahmud sanggup menerima selama luka luarnya masih bisa dijahit. Sedangkan untuk yang bermasalah dengan syaraf, Mbah Mahmud terang-terangan tidak sanggup mengobati jika kondisinya sudah lumpuh.
Durasi pemijatan yang dilakukan Mbah Mahmud kepada semua pasiennya tak begitu lama, hanya sekitar 10 sampai 15 menit. Tak jarang selama proses itu, ia “mengoda” sang pasien dengan ujaran-ujaran lucu. Agar pasien rileks, katanya.
Ada dua metode yang Mbah Mahmud gunakan untuk mengobati pasiennya. Pertama, pemijatan; dan kedua, pengurutan. Uniknya, tak seperti tukang pijit lain yang menggunakan minyak urut, Mbah Mahmud memilih merica yang sudah ditumbuk halus plus air ludah sebagai pelumas. Ya, benar-benar air ludah yang keluar langsung dari mulut Mbah Mahmud.
“Merica dan ludah ini hanya media yang saya gunakan saja. Kalau pakai air putih kan repot harus cari-cari dulu,” candanya. Metode penyembuhan seperti itu sudah Mbah Mahmud jalani sejak tahun 1998, saat pertama kali ia membuka praktik pemijatan.
—
Klinik minimalis Mbah Mahmud benar-benar mirip ruang inap kelas bawah di klinik-klinik pada umumnya. Tempat tidur satu pasien dengan pasien lain disekat menggunakan tirai. Ada dua rumah yang dijadikan “klinik”. Masing-masing diisi 13 dan 14 tempat tidur. Saat saya mendatangi klinik minimalis Mbah Mahmud itu, ke-27 dipan sudah penuh pasien. “Kalau tiba-tiba ada pasien baru yang harus menjalani rawat inap, ya terpaksa dibuatkan tempat di ruang tunggu,” tutur Mbah Mahmud sambil menunjuk ruang tamu tempat pasiennya yang akan kontrol mengantri.
Pertama kali membuka praktik, “Sangkal Putung Mbah Mahmud” – nama praktik pijat Mbah Mahmud – ini tidak begitu ramai. Saat itu, ia masih sempat melayani pijat panggilan. Sangkal Putung Mbah Mahmud mulai dikenal banyak orang dari pembicaraan mulut ke mulut mulai lima tahun yang lalu. Sekarang, jangankan dipanggil ke rumah, pasien yang datang langsung “klinik”-nya saja harus rela mengantri berjam-jam untuk dapat giliran dipijat.
“Cuma itu yang bikin saya kadang mengeluh. Menunggu kan menjemuhkan. Saya antri dari jam dua belas siang tadi, baru dapat giliran pukul setengah tiga sore,” begitu keluh salah satu pasien Mbah Mahmud.
Pasien Mbah Mahmud kebanyakan berasal dari daerah Lamongan, Gresik, Tuban, Bojonegoro, dan sekitarnya. “Bahkan pernah ada yang dari Papua dua kali,” terang Pria yang saya taksirkan berusia 40-an tahun, yang enggan menyebutkan usianya ini.
Sebagian dari pasien Mbah Mahmud itu berasal dari kalangan keluarga ekonomi menengah ke bawah atau juga keluarga menengah ke atas yang mengalami masalah tulang dan syaraf namun takut menjalani operasi di rumah sakit.
Berobat di tempat Mbah Mahmud memang dianggap ringan bagi para pasien yang berasal dari kalangan keluarga menengah ke bawah. Untuk kontrol dan pemeriksaan, pasien tidak dipatok tarif. “Seikhlasnya saja,” kata Mbah Mahmud. Sementara untuk pasien inap dikenakan tarif Rp 70.000 per bulan untuk biaya air selama tinggal di sana. Tarif itu sudah termasuk keluarga yang menemani pasien dan ikut tinggal di sana.
Tarif ini bagi pasien patah tulang dan salah syaraf tentu jauh lebih murah daripada tarif di klinik atau rumah sakit, yang untuk menginap satu malam saja harus mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah.
—
Mbah Mahmud tidak bekerja sendiri di tempat praktiknya. Ia dibantu seorang asisten dan bekerja sama dengan mantri setempat. Masing-masing dari mereka punya andil sendiri dalam mengobati pasien. Peran Mbah Mahmud yakni memijat dan mengurut para pasien. Selama memijat, semua keperluannya disediakan oleh sang asisten. Sementara Pak Mantri berperan mengobati luka terbuka dan meresepkan obat.
Pengobatan di sini memang bukan murni pijat atau urut saja. Tapi juga ditunjang dengan pengobatan moderen dan obat generik. Seperti semboyan sebuah merek pasta gigi, Sangkal Putung Mbah Mahmud memadukan antara pengobatan alami dan ilmiah.