Seorang laki-laki berkumis tebal duduk di depan meja kecil dengan gunting, tang, dan alat-alat penuh di atasnya. Matanya tajam mengarah ke meja. Dari raut mukannya tampak, ia sedang penuh konsentrasi. Tangannya bergerak pelan-pelan memegang alat patri, tepat di bawah sinar lampu neon. Padahal saat itu hari masih terang. Seakan tak terusik dengan istri dan anak yang lalu-lalang di belakangnya, ia tetap tekun menyambungkan kawat-kawat kecil emas menjadi sebuah kalung.
Nur Halim, laki-laki yang membuat perhiasan itu sudah 28 tahun menjadi perajin emas. Ia tidak sendiri, di desanya dan desa tetangga, Sendang Duwur dan Sendang Agung, Kecamatan Paciran, Lamongan, sepertiga dari total kepala rumah tangga berprofesi sebagai perajin emas.
Nur Halim lebih sering membuat perhiasan jenis kalung daripada cincin, gelang, atau perhiasan lainnya. Sebenarnya, setiap perajin emas dapat membuat semua jenis perhiasan. Namun, mereka lebih sering membuat sesuai dengan “bidang keahlian” masing-masing. Jika membuat kalung–keahlian Nur Halim, ia dapat memaksimalkan waktu. Sementara jika tidak, “membuat satu buah cincin saja bisa sampai berhari-hari,” katanya.
Dalam sehari, dari pagi sampai pukul 10 malam, Nur Halim dapat menyelesaikan tiga buah kalung. Itu jika permintaan sedang ramai. Jika sepi, ia hanya membuat satu buah saja. Seperti harganya yang suka naik-turun, perajin perhiasan emas juga sering mengalami pasang-surut permintaan. Ketika sedang ramai-ramainya, banyak perajin dadakan, bekerja membuat perhiasan bisa sehari-semalam.
Sebaliknya, jika sepi, banyak perajin yang beralih profesi. Mereka memilih menjadi nelayan atau petani yang hasilnya hampir pasti. Bagi Nur Halim pribadi yang hampir selalu mendapat pesanan setiap hari, belum terpikir untuk “berdiri” meninggalkan kursi di depan meja kecilnya. “Selama mata masih ‘terang’, saya masih akan terus membuat perhiasan,” akunya.
Puncak ramai pesanan emas, menurut Nur Halim, berbanding lurus dengan panen tembakau di Kota Bojonegoro. Biasanya setelah panen, banyak petani tembakau dari sana membeli perhiasan emas untuk investasi ala orang tua zaman dulu.
Alat-alat jadul
Di tengah maraknya perhiasan-perhiasan emas dari pabrik yang dikerjakan dengan peralatan yang canggih, Nur Halim masih mengandalkan alat-alat manual. Palu dan alasnya, tang, gunting, pencapit, dan mesin patri menjadi “senjata” wajib. Kecuali mesin patri yang cepat rusak, alat-alat Nur Halim umumnya barang tua, warnanya kehitaman tanda sudah dimakan usia. Sudah jadul.
Proses pembuatan perhiasan model apa pun, dimulai dengan memipihkan emas batangan berkadar 24 karat. Emas itu dipecah kecil-kecil menggunakan palu, kemudian dilebur. Jika ingin mengurangi kadar emasnya, tinggal ditambahkan tembaga dan perak sesuai dengan kadar yang ingin dicapai.
Setelah melebur, lelehan emas dibentuk berdasarkan jenis yang ingin dibuat. Bentuk cincin tentu memiliki cetakan yang berbeda dengan gelang, begitu juga dengan kalung. Untuk kalung, lelehan emas dibentuk menjadi kawat-kawat kecil nan panjang.
Kawat-kawat itu selanjutnya melewati proses penghalusan. Jika sudah siap, kawat-kawat mengilap siap dipotong, dibentuk sesuai pola, lalu dirangkai sesuai jenis kalung yang dikehendaki. Nur Halim biasa membuat empat jenis kalung, yakni rantai, RRT, satelit, dan siem. Keempatnya dibuat dengan cara yang sama tapi melewati proses pengerjaan yang berbeda.
Kawat-kawat yang sudah dirangkai kemudian dipatri. Proses perangkaian dan pematrian ini merupakan proses yang butuh kejelian mata. “Itu sebabnya, perajin emas sangat bergantung dengan kondisi matanya,” kata laki-laki 50 tahun itu.
Untuk kalung polos, tahap terakhir yang dikerjakan Nur Halim yakni mengikir dan mencuci. Pencucian perhiasan menggunakan bahan kimia khusus. Bapak dua orang anak ini biasa mencuci dalam wadah logam yang dialiri listrik. Sementara untuk kalung yang mempunyai motif, kembang-kembang misalnya, harus dibawa ke ahlinya dulu sebelum dicuci.
Lebih murah
Nur Halim biasa membuat kalung dengan kadar antara 70 persen sampai emas murni. Ia tak membuat kalung yang bobotnya kurang dari 10 gram. Sebab, membuat kalung dengan bobot ringan berarti membuat kalung dengan ukuran kecil. Jika begitu, mata pun harus bekerja ekstra. “Kasihan mata saya,” alasannya.
Jika dibandingkan dengan perhiasan emas buatan pabrik, perhiasan emas made in Sendang Duwur dan Sendang Agung memang kalah dalam beberapa hal, seperti model, motif, bentuk, dan warna. Tapi, Nur Halim mengklaim, perhiasan emas hasil dari alat manual lebih kuat dan lebih murah.
Bekerja sebagai perajin perhiasan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan seorang akuntan. Keduanya sama-sama bisa menyelesaikan pekerjaan hanya dengan duduk di belakang meja saja.
Dibawa oleh Sunan Sendang Duwur
Kerajinan emas sudah menjadi profesi turun-temurun di Desa Sendang Duwur dan Sendang Agung. Para perajin yang masih bertahan sampai saat ini telah melihat proses pembuatan perhiasan emas sejak zaman nenek buyut mereka.
Konon, kerajinan emas pertama kali dibawa oleh Sunan Sendang Duwur sekitar Abad ke-15. Sejak saat itu, mayoritas penduduk laki-laki belajar membuat perhiasan. Setelah mahir, mereka menjadi perajin perhiasan. “Sementara yang perempuan membuat batik tulis,” tutur Nur Halim.