KOMPOR HEMAT BRIKET BATU BARA
Tak seperti kompor minyak tanah dan kompor elpiji, kompor briket batu bara terdengar asing di telinga awam. Wajar saja, kompor jenis ini memang jarang ditemui di dapur rumah-rumah. Jangankan memakai, melihat penampakannya langsung saja, tidak banyak yang pernah.
—
Tahun 2006, saat subsidi minyak tanah akan dicabut oleh pemerintah, tersebar isu jika bahan bakar alternatif berikutnya adalah briket batu bara. Meski dalam realisasinya, seperti yang kita gunakan saat ini, elpiji yang akhirnya dipilih oleh pemerintah. Tapi, briket batu bara, bahan bakar yang disebut lebih murah daripada elpiji ini tidak serta-merta hilang dari minat masyarakat. Masih ada beberapa orang yang menggunakannya, terutama di kalangan industri. Produsen kompor briket batu bara juga masih bertahan hingga sekarang. Salah satunya Sutrisno, warga Menongo, Sukodadi, Lamongan.
Sebelum mengenal kompor briket batu bara, Sutrisno sudah akrab dengan alat-alat dapur, seperti dandang, panci, dan benda-benda dari logam lainnya. Di tahun 1979, ia bekerja sebagai buruh di Surabaya, di salah satu industri pembuat perkakas rumah tangga berbahan logam.
Setelah menikah, ia mulai bekerja secara mandiri. Bermodal uang hasil menjual perhiasan yang ia pinjam dari saudaranya, Sutrisno membeli gunting, perkakas bekas dan beberapa lembar logam untuk membuat produk sendiri. Tidak berbeda dari apa yang dikerjakan sebelumnya, ia membuat perkakas dapur berbahan logam secara kecil-kecilan.
Setahun kemudian, ia menambah lagi produk buatannya berupa kompor minyak tanah. Ia belajar membuat kompor dengan pedoman ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). “Saya membeli sebuah kompor yang bagus. Saya lihat komponen-komponennya apa saja, lalu saya praktikan buat. Tapi bukan mau membajak produk itu, saya buat model dan merek sendiri,” terang Sutrisno yang memakai merek “Bintang 5” pada semua produknya.
Hemat untuk peternak ayam, boros untuk rumahan
Kebanyakan peminat kompor briket batu bara berasal dari kalangan industri, lebih khusus lagi oleh para peternak ayam indukan. Sementara untuk rumah tangga, kompor briket batu bara tidak banyak dilirik. Maklum, untuk skala pemakaian kompor di dapur, briket batu bara tidak efisien.
Alasan pertama, untuk penyalaan awalnya membutuhkan waktu yang lama, antara lima sampai lima belas menit. Tidak cocok untuk memasak di rumah yang pedomannya: lebih cepat, lebih baik. Seperti pada kompor minyak tanah yang penyalaan apinya tidak lebih dari satu menit dan kompor gas elpiji yang bahkan tidak lebih dari dua detik. “Sebenarnya penyalaan api kompor briket batu bara yang lama ini bisa diakali dengan pengunaan buvarium, tapi harganya bisa melambung tinggi,” ujar Sutrisno.
Alasan kedua, bahan bakar briket batu bara hanya sekali pakai. Jadi, jika kompor tersebut menggunakan 3 kg briket batu bara sebagai bahan bakarnya. Bahan bakar yang bisa menyalakan api sekitar enam jam itu harus terus digunakan untuk memasak. Jika sudah dimatikan, briket batu bara tidak bisa digunakan lagi, sudah jadi ampas.
Kita tahu, waktu memasak di dapur jarang sekali memakan waktu sampai enam jam secara kontinu. Apalagi jika hanya memasak mie instan atau makanan cepat saji lain yang hanya perlu nyala api sekitar lima menit. Bukannya penghematan, penggunaan kompor briket batu bara seperti itu justru menjadi pemborosan yang sia-sia.
Sementara jika digunakan untuk peternakan ayam, kelemahan-kelemahan pada penggunaan kompor briket batu bara bisa dimaklumi jika yang menjadi patokan adalah penekanan biaya. Seperti pedoman yang banyak dianut oleh pegiat industri: lebih murah, lebih baik.
Kompor briket batu bara digunakan untuk menghangatkan anak ayam usia 0 sampai 2 minggu di malam hari. Anak-anak ayam yang membutuhkan suhu sekitar 350 C agar dapat tumbuh sempurna itu dihangatkan dengan nyala api kompor yang disebarkan lewat kanopi ke seluruh ruangan. Satu kompor briket batu bara, biasanya dapat menghangatkan 750 sampai 1000 ekor anak ayam. Kini, Sutrisno tidak lagi membuat kompor briket batu bara untuk rumah tangga, kecuali jika ada yang memesan. Ia hanya membuat kompor untuk peternak ayam. Itu pun dalam jumlah yang terbatas.
Dalam semalam, penggunaan kompor minyak tanah memakan biaya Rp 25.000. Sementara kompor gas elpiji menghabiskan Rp 15.000. Jika menggunakan briket batu bara, biaya yang dikeluarkan hanya Rp 7.500. “Dengan briket batu bara, peternak ayam 50 persen lebih hemat daripada menggunakan gas elpiji,” terang Sutrisno.
Selain itu, kelebihan lain dari briket batu bara yakni – mengutip pernyataan Presiden SBY –1000 persen tidak berjelaga seperti minyak tanah dan 2000 persen aman karena tidak berpotensi meledak seperti yang sering terjadi pada gas elpiji. Sayangnya, ketiga bahan bakar ini sama, sama-sama tidak ramah lingkungan.
Paling bagus nyala apinya dari 100 kompor
Sama seperti kompor-kompor lainnya, kompor briket batu bara memiliki komponen-komponen khusus yang wajib ada agar api dapat menyala dengan sempurna, di antaranya tangki ruang udara, ruang bakar, dan penampung abu sisa batu bara.
Tangki ruang udara berfungsi untuk masuk keluarnya udara. Di tangki ini besar kecilnya nyala api diatur. Semakin besar pintu udara dibuka, semakin besar pula apinya, begitu juga sebaliknya. Sementara ruang bakar merupakan tempat bahan bakar, yakni briket batu bara. Ada berbagai macam ukuran ruang ini, tergantung model kompornya. Model buatan Sutrisno, misalnya, kompor rumah tangga yang pernah ia buat dulu, ruang bahan bakar dapat diisi dengan 3 kg briket batu bara. Sementara kompor untuk menghangatkan ayam di peternakan, volume ruang bakarnya lebih besar dua kali lipat.
Bentuk kompor briket batu bara untuk rumah tangga dan untuk peternakan ayam juga berbeda. Kompor untuk rumah tangga, bentuk luarnya mirip dengan kompor minyak tanah. Hanya saja jika diperhatikan komponen-komponen dalamnya berbeda, seperti tempat sumbu diganti dengan tempat bahan bakar, tangki minyak tanah diganti dengan tangki ruang udara, dan lain-lain.
Sementara kompor untuk peternakan ayam berbentuk tabung panjang. Tingginya 1,4 m dengan diameter 55 cm. Kompor ini dilengkapi dengan penyebar panas berbentuk mirip caping petani namun dengan ukuran yang jauh lebih besar. Fungsinya menyebarkan panas dari api kompor ke seluruh ruangan. Sisanya, tempat abu sisa batu bara, berfungsi untuk menyimpan sisa abu yang bekas pembakaran batu bara. Abu ini bisa digunakan sebagai abu gosok.
Membuat kompor briket batu bara, menurut Sutrisno, cukup mudah. Yang sulit justru bagaimana cara mengenalkan kepada masyarakat, khususnya peternak ayam, agar mau memakainya. Untuk yang satu ini, Sutrisno beruntung. Tahun 1997, ia mengikuti perkumpulan pembuat kompor briket batu bara di Jakarta yang dihadiri oleh 100 perajin kompor dari berbagai daerah di Indonesia. Tak dinyana, kompor briket batu bara buatannya menjadi kompor dengan nyala api paling bagus.
Dari sana, jalan untuk sosialisasi jadi lebih mudah. Beberapa bulan setelah acara tersebut, ia diundang untuk temu wicara dengan presiden RI saat itu, Pak Harto. Di siang hari suaranya mengudara di radio, malam harinya, ia tampil di televisi. “Sejak itu, banyak peternak ayam yang cari saya,” katanya bangga.
Sampai saat ini, di mata Sutrisno, kompor briket batu bara masih diminati meski hanya oleh minoritas peternak ayam. “Dari tahun 1995 sampai sekarang, saya masih buat kompor briket, artinya kan masih ada yang pakai,” ujar Lelaki kelahiran Bojonegoro ini. Karena penggunanya yang sedikit, Sutrisno lebih fokus memproduksi peralatan peternak ayam lainnya, seperti tempat makan ayam, fumigasi telur, kanopi, dan lain-lain.
Kini, kompor briket batu bara “Bintang 5” buatan 40 karyawan Sutrisno sudah melanglang buana di banyak tempat di Indonesia, di Jawa maupun luar Jawa. Melihat peminatnya yang semakin langka, akankah kompor ini masih akan bertahan lama? Biar waktu yang menjawabnya.
Eksperimen kandang ayam
Sebagai produsen peralatan ternak ayam, sampai saat ini, Sutrisno belum pernah memelihara ayam sendiri. Pertama kali membuat kompor briket batu bara untuk penghangat anak ayam, ia melakukan sebuah eksperimen unik, yakni membuat duplikasi kandang anak ayam di rumahnya.
Ruang duplikasi kandang anak ayam ia buat bersekat-sekat. Setiap setengah meter, ia pasang termometer. Begitu kompor yang diletakkan beberapa meter di atas alas ia nyalakan, dari sana ia tahu, berapa radius hangat yang dihasilkan oleh kompor buatannya. “Jadi, kita tahu betul seperti apa alat kita. Jangan sampai ada yang tanya soal alat yang kita buat, kita tidak bisa jawab. Tidak lucu kan?” pungkasnya.
3 comments
Kepada pak Sutrisno,
Apakah pernah mencoba menggunakan briket bambu?
kompor briket harganya bberapa?
di mna bisa beli kompor nya??