Setidaknya ada dua jenis petis yang banyak beredar di pasaran, petis udang dan petis ikan. Petis udang tentu Anda tidak asing lagi, bukan? Lalu, bagaimana dengan petis ikan? Asing maupun tidak asing, sepertinya Anda tetap layak tahu bagaimana Mbah Khotijah, warga Desa Sedayulawas, Brondong, Lamongan, ini membuatnya.
—
Setiap malam, sekitar pukul 21.00, di dapur yang terletak tepat di sebelah rumahnya, Mbah Khotijah dengan telaten menata satu demi satu ikan layang – yang sebelumnya telah ia cuci bersih – dalam sebuah panci besar di atas kompor gas. Setelah siap, garam dan air ia tambahkan. Ya, ia akan memindang. Begitu cetek, kompor menyala, ia bisa bersantai sejenak, menunggu hingga ikan-ikannya matang.
Setelah sekitar setengah jam, wanita 70 tahun itu mengangkat pancinya. Memindahkan ikan layang yang sudah matang, memindah sari – air sisa – rebusan tadi pada sebuat wadah, dan menata kembali ikan-ikan layang lain yang sudah antri di belakang. Begitu seterusnya, hingga 50 kiloan ikan layang yang ia dapat tadi siang dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong, selesai semua ia pindang.
Seperti kita tahu, memindang merupakan salah satu cara mengawetkan ikan. Dengan dipindang, ikan bisa beberapa hari lebih awet daripada dibiarkan mentah. Memang, pemindangan tidak lebih awet jika dibandingkan dengan pengasinan. Namun kelebihannya, ikan pindang dapat langsung dimakan. Dagingnya lembut dan cita rasanya khas, cenderung asin. Berbeda dari ikan asin yang masih harus dimasak kembali karena tekstur dagingnya yang keras dan mengering.
Bangun pagi-bagi
Setelah semua ikan selesai dipindang, Mbah Khot, sapaan akrab Mbah Khotijah, bisa beristirahat. Tapi tugasnya belum selesai. Besok pukul 02.30, dengan sedikit mengantuk, ia harus merebus kembali sari (sisa air) pemindangan tadi malam untuk dijadikan petis. Mula-mula, air sisa, yang dalam bahasa setempat disebut “kolo iwak” dimasukkan dalam satu panci lalu direbus.
Setelah agak mengental, kolo iwak disaring untuk membuang sisa-sisa ikan yang masih ada. Jika sudah bersih, direbus kembali sambil diaduk hingga kental betul. Sudah sekitar 40 tahun rutinitas ini Mbah Khot jalani. Tanpa pernah mengeluh, ia setia berteman dengan bau amis berbekal keahlian membuat pindang dan petis yang ia peroleh dari tetangganya dulu.
Butuh waktu hampir satu jam mulai dari merebus kolo iwak pertama kali sampai menjadi petis. Itu belum termasuk mengemas petis ke dalam wadah kecil, wadah khusus petis, untuk kemudian dijual. Wadah petis ini mirip seperti wadah obat generik di Pukesmas namun dengan ukuran yang lebih kecil dan berwarna bening. Diameternya kira-kira hanya 4 cm.
Asli seasli-aslinya
Sudah rahasia umum, banyak pembuat petis ikan mencampurkan gula merah dan garam untuk memperkuat rasa dan menambah volume petis. Tak jarang juga yang “mengakali” petis buatan mereka dengan tambahan tepung untuk bisa memproduksi petis dalam jumlah yang lebih banyak. Tanpa memikirkan soal kualitas. Bayangkan saja, bahan satu wadah petis asli bisa dijadikan 3-4 wadah jika dicampur dengan bahan-bahan tersebut.
Di Lamongan sendiri, khususnya di sepanjang garis pantai di Kecamatan Brondong dan Paciran, mencari petis ikan asli sudah sesulit mencari jarum dalam tumpukan jerami. Dari ratusan petis siap jual, mungkin hanya beberapa saja yang tanpa campuran. Dari puluhan pembuat petis ikan, mungkin bisa dihitung dengan jari yang menjaga petisnya tetap asli seasli-aslinya. Tentu saja, satu di antara jari-jari tersebut adalah Mbah Khotijah.
Cuil sedikit sudah lezat
Buat Anda yang masih awam dengan petis ikan, petis ini memiliki warna, rasa dan tekstur yang berbeda dengan petis udang. Petis udang hitam, gurih, dan lembut. Petis ikan merah kecokelatan mirip warna gula merah, asin, dan lembut, namun tidak selembut petis udang.
Mudah bukan, membedakan petis udang dan petis ikan? Sebaliknya, membedakan petis ikan asli dan petis ikan campuran bukan hal gampang. Sekilas kedua petis ini tak bisa dibedakan dalam hal warna. Namun tentu masih bisa dibedakan dalam beberapa hal lain. Mbah Khot memberikan beberapa tips berikut. Pertama, dari teksturnya. Tekstur petis ikan asli lebih lembut dan tidak lengket. Berbeda dengan petis ikan campuran yang kadang keras dan lengket. “Itu (keras dan lengket) berasal dari tambahan tepung dan gula merah,” terangnya.
Kedua, dari segi rasa. Petis asli rasanya asin tapi tidak begitu kuat. Juga ada kecenderungan gurih serta berbau sedikit amis. Sedangkan petis ikan campuran, rasa asinnya kuat mirip garam, plus bau amisnya sering tidak tercium. Karena perbedaan ini, jangan heran jika petis ikan asli buatan Mbah Khot lebih enak dibanding petis-petis campuran. Juga lebih hemat, cukup cuil sedikit saja, sambal, bumbu rujak, atau bumbu lain sudah terasa begitu lezat.
Pesan dulu
Bukan hanya ikan layang, ikan-ikan laut lain seperti tongkol dan jui bisa juga dibuat petis ikan. “Tapi rasanya tidak akan seenak ikan layang,” ungkap Mbah Khot tanpa menunjukkan alasan. “Pokoknya asin gurihnya itu beda,” tambahnya.
Soal masalah gizi, kita tahu, ikan laut merupakan sumber protein yang tinggi, termasuk ikan layang. Meskipun petis hanya berasal dari air sisa pindangan, protein yang dikandungnya terhitung masih cukup banyak, 2/3 dari protein pindang layang itu sendiri.
Menurut data kandungan gizi bahan pangan dan hasil olahan, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi Yogyakarta, pindang layang mengandung protein 30 g, kalsium 60 mg, fosfor 200 mg, dan vitamin A sebesar 200 SI. Sedangkan untuk petis ikan kandungan proteinnya tersisa 20 g, kalsium 37 mg, fosfor 36 mg, dan kehilangan seluruh vitamin A karena proses perebusannya yang begitu lama.
Jika Anda tertarik membeli petis asli buatan Mbah Khotijah, Anda bisa datang ke pasar kecil dekat rumah Mbah Khot, di Desa Sedayulawas, Gang Mawar. Setiap pagi, Mbah Khot berjualan ikan pindang di sana. Jika beruntung, Anda bisa langsung mendapatkan petisnya. Tapi jika tidak kebagian, Anda harus memesan terlebih dahulu. Maklum, petis yang Mbah Khot buat tidak banyak, itu juga kadang sudah jadi pesanan orang lain.
Apabila datang siang, Anda bisa langsung memesan ke rumah Mbah Khotijah. Rumahnya terletak sekitar 400 meter ke arah selatan dari pertigaan gang. Berada di samping barat belakang sebuah musala. Rumah Mbah Khot menghadap ke timur.
Kelebihan lain petis Mbah Khot yakni tahan lama. Karena asli tanpa campuran, petis buatannya bisa bertahan hingga satu tahun. Cocok buat Anda yang jarang membuat sambal atau makanan lain yang berbahan petis ikan. Bandingkan dengan petis campuran, yang hanya dalam 5 bulan saja, rasa dan teksturnya sudah berbeda.
Petis Mbah Khot dibanderol seharga Rp 15.000 tiap wadah. Mahal memang jika dibandingkan petis ikan lain – petis campuran – yang harganya cuma sekitar Rp 5.000 per wadah. Tapi ingat! Soal rasa, petis Mbah Khot juaranyanya.