MEGILAN

  Sapi_

Memasak dengan kayu bakar dan minyak tanah itu kuno. Memasak dengan elpiji, sudah biasa. Memasak dengan kotoran sapi, baru luar biasa. Dan itulah yang dilakukan oleh warga Desa Kedungbembem, Mantup, Lamongan.

Selama bertahun-tahun, warga Kedungbembem harus menghadapi masalah tahi sapi yang tak berkesudahan. Harap maklum, hampir semua warga di desa ini memelihara sapi. Ada yang memelihara sapi milik sendiri, ada juga yang memelihara sapi milik warga lain dengan sistem bagi hasil.

Satu keluarga bisa memelihara 2-5 ekor sapi. Hingga akhir 2012 kemarin, sapi di desa yang terbagi atas lima dusun ini berjumlah 857 ekor. Bisa dibayangkan, jika dalam satu hari, seekor sapi menghasilkan kotoran sebanyak 10 kg saja, maka 857 ekor sapi akan menghasilkan lebih dari 8 ton kotoran sapi! Itu baru sehari, bagaimana jika sebulan, bahkan bertahun-tahun?

Memang, kotoran ini bisa saja dimanfaatkan sebagai pupuk di sawah. Namun kotoran sebanyak itu tentu berlebih. Jika dibuat pupuk semua, bisa-bisa sawah mereka akan menjadi “lautan” kotoran sapi. Lagi pula, kotoran yang masih baru tidak optimal untuk tanaman. Sifata panas yang masih dikandungnya justru bisa merusak.Digester_1

Berangkat dari keresahan itu, Pak Edi Purwanto, perwakilan dari UPKu (Unit Pengelola Keuangan dan usaha) Kedungbembem, dengan bantuan Bapemas (Badan Pemberdayaan Masyarakat) Lamongan, mengajukan permohonan bantuan ke pemerintah pusat agar dibangun instalasi biogas di desa tersebut. Tak disangka, Kedungbembem bersama 19 desa lain dari berbagai daerah di Indonesia terpilih untuk mengembangkan biogas. Pada 27 Desember 2012, desa ini resmi memiliki 10 unit digester – alat pengolah kotoran menjadi biogas – berbahan fiber dengan ukuran 4 dan 5 kubik.  Seluruhnya disebar di lima dusun. Satu dusun dipasang dua digester.

Kehadiran unit biogas terbukti sangat bermanfaat mengurangi masalah kotoran yang oleh penduduk setempat disebut “telethong” ini. Setelah menjalani proses fermentasi di dalam digester, limbah sapi menghasilkan gas metana yang bisa digunakan sebagai pengganti elpiji. Bagi warga desa, digester biogas ini barangkali mirip sebuah atraksi sulap. Telethong kok bisa nyala? Tahi sapi kok bisa jadi api?

Biogas ini memang belum bisa sepenuhnya menggantikan gas elpiji, namun keberadaannya cukup memangkas pengeluaran. Jika dulu satu tabung elpiji habis untuk dua minggu, “Sekarang bisa lebih,” terang Bu Asmi, salah satu warga yang memanfaatkan biogas untuk memasak dan membuat kue untuk dijual. Dengan begitu, laba Bu Asmi dari kue yang ia buat juga lebih banyak. Sebab hasil penjualan tidak lagi dipangkas biaya elpiji. Apalagi harga elpiji di Kedungbembem cukup mahal, Rp 18.000 untuk tabung ukuran 3 kg karena mahalnya ongkos transportasi ke desa yang berada di tengah hutan ini.

Secara terus-menerus, “gas kentut sapi” dari digester berukuran 4 kubik dapat digunakan selama lima jam. Setelah itu, perlu waktu kembali untuk mengolah kotoran menjadi gas metana. Api yang dihasilkan juga sangat bagus, berwarna biru, tidak kalah dengan api dari kompor elpiji. Yang paling penting, bau kotoran sapi juga akan hilang begitu disulut api.

Biogas juga tidak memiliki potensi menimbulkan ledakan, jauh lebih aman daripada elpiji. Tak hanya itu, limbah akhir sisa pengolahan digester pun bisa digunakan sebagai pupuk organik dengan kualitas yang lebih bagus, sebab sifat panas kotoran sapi telah hilang selama proses fermentasi.

100_9795 copyIni hanya sebagian dari banyaknya manfaat unit biogas. Sebetulnya masih ada manfaat lain yang tak kalah penting dan mungkin tidak disadari oleh para warga Kedungbembem, yaitu menyelamatkan lingkungan. Menurut para ahli, kotoran sapi adalah salah satu penyumbang terbesar gas rumah kaca, terutama metana.

Daripada karbon dioksida, efek pemanasan bumi akibat metana 72 kali lebih kuat. Dengan teknologi biogas sederhana ini, efek buruk kotoran sapi bukan hanya bisa diminimalkan, tapi bisa diubah menjadi energi terbarukan. Energi ini bisa mengurangi penggunaan energi tak terbarukan seperti liquefied petroleum gas (LPG) maupun bahan bakar tak ramah lingkungan seperti kayu bakar yang masih lazim digunakan di pedesaan.

Belajar dari Kegagalan

Sebelum Kedungbembem, dua desa lain di Lamongan, yakni Desa Tenggulun dan Desa Payaman, Kecamatan Solokuro, sudah terlebih dahulu mengembangkan biogas. Tapi unit pengolahan biogas di dua desa itu mengalami kendala seperti yang banyak terjadi di tempat lain, yaitu digester yang tidak berfungsi.

Tahun 2008, Pondok Pesantren Al-Islam di Tenggulun mendapat bantuan dari Pemkab Lamongan untuk membangun sebuah unit digester. Digester ini berbeda dengan digester yang ada di Desa Kedungbembem. Di desa asal Amrozi, pelaku aksi bom Bali 1, ini digester dibuat dari batu-bata dan semen.

Pengolahan biogas ini sempat berjalan 3 tahun dengan kotoran 10 ekor sapi yang sengaja dibeli untuk pengembangan biogas. Hanya saja setelah itu, digester bocor. Padahal untuk dapat mengubah kotoran sapi menjadi gas metana, digester harus kedap udara. Alhasil, pengolahan biogas pun berhenti.

Hal yang hampir sama terjadi di tetangga desanya, Payaman. Kelompok tani yang memiliki 16 ekor sapi mendapat bantuan dari sumber yang sama, berupa dua digester. Satu digester kini sudah tidak berfungsi. Penyebabnya sama, yaitu kebocoran pada dinding semen. Untung saja, satu digester lain terbuat dari bahan fiber sehingga lebih tahan lama.

100_9780 copyPak Habib Soleh, warga Payaman yang sampai kini masih menggunakan biogas, mengaku sangat terbantu dengan adanya instalasi ini. Jika dulu kotoran sapinya dibuang di penampungan, “Sekarang saya lebih senang membuangnya ke digester, lebih berguna,” akunya.

Sama seperti di Kedungbembem, di Payaman pun warga yang memakai biogas memang belum bisa seratus persen meninggalkan elpiji. Tapi bagaimanapun keberadaan kompor “spiritus sapi” ini tetap bisa memberi dua manfaat sekaligus: hemat dan ramah lingkungan. Paling tidak, kompor limbah sapi bisa berdampingan dengan kompor elpiji. Mirip semboyan sebuah iklan pasta gigi, “Yang terbaik adalah perpaduan kebaikan alami dan kekuatan ilmiah.”

Kegagalan progam di Solokuro dan kesuksesan progam serupa di Mantup adalah pelajaran penting bagi siapa saja yang ingin mengembangkan progam biogas rumahan. Negara kita sangat kaya sumber biogas. Tapi sumber energi ramah lingkungan ini biasanya justru menjadi masalah lingkungan. Dengan teknologi sederhana seperti yang diterapkan di Kedungbembem, warga desa bisa mengubah masalah tak berkesudahan itu menjadi energi tak terhabiskan. Pak Habib Soleh, Bu Asmi, dan warga Desa Kedungbembem lainnya sudah membuktikannya.