Memasyarakatkan Jamu Ala Desa Pajangan Sukodadi

DIREKTORI, JUAL BELI, MEGILAN
Ilustrasi: dok. pribadi
Ilustrasi: dok. pribadi

Mungkin tak banyak kampung di Indonesia yang dihuni penjual jamu gendong sebanyak Desa Pajangan, Sukodadi, Lamongan. Bayangkan saja, sekitar separuh dari total keluarga di desa ini berprofesi sebagai penjual jamu gendong. Jumlah tersebut tidak seberapa jika dibandingkan beberapa tahun lalu yang mencapai lebih dari dua per tiga total keluarga. Mereka semua berkeliling menjajakan jamu di desa-desa lain di wilayah Lamongan.

Desa Pajangan memang sentra jamu di Lamongan. Tidak ada yang tahu pasti kapan warga di desa ini pertama kali membuat jamu. Satu yang pasti, tradisi ini sudah turun-temurun lebih dari setengah abad yang lalu. “Sejak saya belum lahir. Zaman nenek-kakek, jamu sudah dibuat di sini,” kata H. Sulianto, agen jamu di Desa Pajangan. Sulianto bahkan ingat, di tahun 1970-an, desanya pernah masuk tipi di sebuah acara di TVRI, satu-satunya stasiun televisi nasional saat itu, gara-gara jamu.

Di tengah gempuran obat-obat kimia sintetis, keberadaan kampung jamu gendong di Lamongan merupakan sebuah fakta menarik. Desa ini barangkali bisa dijadikan contoh bagi kita semua yang ingin melestarikan kekayaan Tanah Air ini. Tak diragukan lagi, jamu adalah kekayaan Indonesia yang harus dipelihara dan dilestarikan, apalagi sekarang eksistensi obat tradisional ini digempur habis-habisan oleh obat kimia sintetis.

Kita punya banyak alasan kenapa harus melestarikan jamu.

Alasan pertama dan utama, jamu adalah produk lokal. Mungkin tidak semua dari kita menyadari bahwa tiap kali minum obat kimia sintetis, kita secara tidak langsung telah mengurangi devisa negara! Pasalnya, seperti yang dilaporkan di situs Ikatan Apoteker Indonesia, 95% bahan baku obat saat ini masih diimpor. Artinya, setiap butir tablet dan setiap sendok sirup yang kita minum itu kita beli dengan devisa.

Ini berbeda dengan bahan baku jamu yang sebagian besar adalah produk lokal. Kunyit, jahe, temu ireng, temulawak, bangle, asam jawa, cabe jawa, brotowali, lempuyang, kencur, lengkuas, kayumanis, kumis kucing, dan sebagainya adalah produk pertanian yang seratus persen dihasilkan dari bumi Indonesia. Dengan kata lain, ketika kita minum jamu, secara tidak langsung kita telah ikut meningkatkan kesejahteraan para petani lokal.

Volume impor bahan baku obat kimia sintetis tidak tanggung-tanggung. Menurut laporan situs Kementerian Perindustrian Indonesia, selama tahun 2012 saja, nilai impor bahan baku obat mencapai Rp 11.400.000.000.000! Wow. Sengaja saya tulis semua angka nolnya agar kita semua bisa membayangkan betapa banyaknya devisa negara yang kita belanjakan untuk membeli bahan baku obat dari luar negeri. Angka ini naik 8,5 persen dari tahun sebelumnya. Dan bukan tidak mungkin akan terus naik di tahun berikutnya jika kita masih acuh tak acuh terhadap jamu yang notabene 100% produk dalam negeri.

Ini alasan pertama. Alasan kedua, jamu juga sudah terbukti secara empiris dan turun-temurun aman dan berkhasiat menjaga kesehatan dengan biaya murah. Buktinya sudah sangat banyak. Kumis kucing, bawang putih, seledri, dan belimbing wuluh sudah secara luas digunakan orang-orang tua kita untuk mengatasi darah tinggi, jauh sebelum para dokter masuk desa dan memberi obat-obat kimia sintetis.

Daun jambu biji sudah secara luas digunakan untuk mengatasi diare. Rimpang kunyit sudah lazim digunakan untuk menjaga kesehatan reproduksi wanita. Temulawak sudah biasa dimanfaatkan untuk memperbaiki fungsi hati. Daun kejibeling dan kumis kucing sudah sering dipakai sebagai obat tradisional penghancur batu kemih. Cengkeh dan cabe rawit terbukti bisa menurunkan kolesterol. Dan masih banyak lagi.

Selama ini penggunaan jamu kalah populer daripada obat modern karena dianggap kurang ilmiah. Ini memang salah satu kelemahan jamu. Penelitian ilmiah khasiat jamu memang tidak sebanyak penelitian pada obat-obat modern. Namun, kelemahan ini mestinya tidak menjadi alasan untuk menganaktirikan jamu. Justru kelemahan ini harusnya menjadi pemicu untuk mengangkat pamor jamu lebih tinggi lagi lewat saintifikasi jamu.

Tidak bisa tidak, kalau mau berkompetisi dengan obat modern, obat tradisional harus disaintifikasi. Harus diteliti dengan standar ilmiah perguruan tinggi. Hasilnya harus layak dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah internasional. Hanya dengan cara itu, obat herbal bisa diakui keberadaannya oleh kalangan tenaga kesehatan dan dipandang setara dengan obat modern. Lewat usaha saintifikasi, jamu bisa memiliki dua kekuatan sekaligus—seperti ungkapan sebuah iklan pasta gigi—yang menggabungkan kekuatan alami dan ilmiah.

Paling tidak, saintifikasi jamu difokuskan pada penyakit-penyakit yang belum bisa disembuhkan oleh obat modern seperti hipertensi, diabetes, hiperkolesterol, gangguan asam urat, kanker, dan sejenisnya. Di sini obat herbal masih punya peluang besar untuk bersaing dengan obat-obat modern. Apalagi ini juga sesuai dengan rekomendasi Komite Inovasi Nasional dan juga sejalan dengan tren “back to nature” yang terjadi di negara-negara maju seperti di Amerika, Eropa, dan Jepang.

Dalam hal pengembangan obat herbal, kita bisa belajar dari Cina. Dan seharusnya kita bisa lebih dari negeri tersebut. Sebab dalam urusan sumber daya hayati, negara kita lebih unggul dalam hal kuantitas dan keragaman. Menurut data Conservation International (2000), Indonesia tercatat sebagai negara ke-2 dengan keragaman hayati terbanyak di dunia. Sedangkan Cina berada 6 tingkat di bawahnya. Tapi nyatanya, pamor obat tradisional malah terbalik. Kita mengimpor banyak sekali produk obat tradisional dari sana sampai-sampai di Indonesia kita mengenal satu jenis kelompok obat yang dinamai “obat cina”.

Harus diakui, negeri Tiongkok ini memang sukses mengembangkan obat tradisional hingga bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan obat modern. Di sana, dokter-dokter tak ragu meresepkan obat tradisional. Universitas-universitas melakukan penelitian saintifikasi jamu. Maka tak heran jika banyak sekali hasil penelitian obat tradisional Cina dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah. Dan yang tak kalah penting dari semuanya, masyarakatnya pun bangga menggunakan obat tradisional. Ini sesuatu yang layak kita jadikan contoh mengingat di Indonesia jamu diidentikkan dengan masyarakat kelas bawah.

Jamu adalah kekayaan budaya Indonesia yang harus kita lestarikan dan kita perjuangkan bersama-sama demi kemajuan Indonesia. Sama seperti batik, jamu saat ini juga sudah diusulkan kepada UNESCO agar diakui sebagai warisan kebudayaan dunia hasil karsa dan karya bangsa Indonesia. Jika usaha ini berhasil, dan jika kita juga berhasil melakukan saintifikasi jamu, maka obat tradisional ini bisa menjadi komoditas ekspor penghasil devisa yang bisa diandalkan. Mungkin bisa mengurangi “ekspor pahlawan devisa” ke luar negeri, seperti yang terjadi di banyak kampung di Lamongan.

Sebagai orang awam, kita bisa mendukung semua usaha di atas dengan satu langkah kecil seperti yang dilakukan oleh warga Cina, yaitu bangga minum jamu. Dengan minum jamu, seperti jamu buatan warga Desa Pajangan, Lamongan, kita secara tidak langsung telah ikut memajukan Indonesia.

Selain itu, sebagai orang awam kita juga bisa mendukung usaha pengembangan jamu dengan cara memboikot produk-produk jamu nakal yang dicampur dengan bahan-bahan kimia sintetis. Sebagaimana kita tahu, praktik kotor ini merupakan salah satu perusak citra jamu. Dan, sayangnya, hampir setiap tahun Badan Pengawas Obat dan Makanan masih menjumpai jamu-jamu seperti ini beredar di masyarakat. Praktik kotor ini harus kita lawan bersama-sama.

Kesimpulannya, tak peduli apakah kita ini orang pintar, orang bejo, maupun orang yang tidak pintar dan tidak bejo, mari kita ikut memajukan jamu Indonesia! Mari (bangga) minum jamu!

Referensi:

  1. http://www.ikatanapotekerindonesia.net/pharmacy-news/34-pharmacy-news/2027-95-bahan-baku-obat-di-indonesia-masih-impor.html
  2. http://www.kemenperin.go.id/artikel/2808/Impor-Bahan-Obat-Tembus-Rp-11-T
  3. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-news/brc-info/501-info-jamu-as-world-cultural-heritage-2013
  4. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/604-herbal-plants-collection-kumis-kucing
  5. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/594-herbal-plants-collection-cabe-rawit
  6. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/553-herbal-plants-collection-cengkeh
  7. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/542-herbal-plants-collection-belimbing-wuluh
  8. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/555-herbal-plants-collection-jambu-biji
  9. http://biofarmaka.ipb.ac.id/phocadownloadpap/userupload/Info/2012/20121124%20-%20Material%20Presentation%20from%20Prof.%20Latifah%20K%20Darusman.pdf
  10. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-news/brc-article/587-quality-of-herbal-medicine-plants-and-traditional-medicine-2013
  11. http://kin.go.id/node/58
Silakan bagikan, klik ikon di bawah

10 comments

Leave a Reply to aflahulabidin Cancel reply