
Salah satu pemandangan yang akan menarik mata Anda saat melintas di pesisir Kabupaten Lamongan ialah jejeran perahu di sepanjang garis pantainya. Kebetulan jalan utamanya berjarak cukup dekat dengan pantai, hanya beberapa puluh meter saja. Bahkan di sebagian ruas jalan ,langsung berdampingan dengan pantai. Jadi, Anda bisa melihat luasnya laut dengan aksen perahu dari kendaraan.
Perahu-perahu tersebut tentu milik para warga setempat yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan. Untuk perahu-perahu kecil yang hanya digunakan untuk melintas beberapa kilometer saja dari garis pantai, para nelayan biasa membuatnya sendiri. Namun bagaimana dengan perahu-perahu besar yang digunakan untuk melaut hingga menyeberang pulau, seperti Pulau Madura, Pulau Kalimantan, atau bahkan sampai ke Pulau Sulawesi? Perahu-perahu yang kebanyakan milik para juragan ini hampir tidak mungkin dibuat sendirian. Selain dibutuhkan waktu yang lama serta tenaga yang tak sedikit, membuat perahu-perahu “jumbo” juga diperlukan keahlian khusus.
Perahu-perahu berukuran besar ini mungkin sulit ditemui di sepanjang jalan raya, kalaupun ada, akan sangat jarang. Perahu ini lebih gampang kita jumpai di Pelabuhan Brondong, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong, atau di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Desa Kranji Kecamatan Paciran.
Meski tidak dibuat sendiri oleh pemiliknya, tidak berarti juga perahu-perahu ini didatangkan dari daerah lain. Karena penduduk sekitar Brondong dan Paciran pun ada yang andal dalam membuatnya.
Para perajin ini membuat kapal di daerah pinggir laut dengan tanah yang cukup luas, salah satunya di Desa Kandang Semangkon, Kecamatan Paciran. Daerah pinggir laut sengaja dipilih agar mempermudah pemindahan perahu dari darat ke laut kalau sudah jadi nantinya, tinggal didorong saja dengan alat berat.
Di desa ini, ada yang membuat perahu secara mandiri dan ada juga yang membuatnya dalam pimpinan seseorang. Membuat secara mandiri maksudnya, pemesan langsung datang ke para perajin untuk minta dibuatkan perahu. Sementara dalam pimpinan seseorang berarti transaksi terjadi antara pemesan dan pemilik mebel. Proses pembuatannya menjadi urusan antara perajin dan pemilik mebel.
Kedua cara ini memiliki keunggulan masing-masing bagi para pemesan. Untuk yang cara pertama, perahu bisa disesuaikan langsung dengan keinginan pemesan dalam segala segi. Pemesan juga banyak berperan dalam pemilihan bahan kayu dan lain-lain.
Sementara untuk cara yang kedua, pemesan bisa lepas tangan. Karena semua hal tergantung oleh pemilik mebel dan perajin, pemesan tinggal terima “beresnya saja”.
Otodidak
Meski dengan prosedur pemesanan yang berbeda, cara pembuatan perahu tentulah sama. Satu buah perahu besar, berkisar panjang antara 7-9 meter biasa diselesaikan oleh 5-7 perajin dalam waktu sekitar 5 bulan.
Membuat perahu besar memang diperlukan keahlian khusus, tapi jangan membayangkan para perajinnya merupakan arsitektur atau sarjana lulusan teknik sipil. Karena hampir semua dari mereka belajar membuat perahu secara otodidak, dari pengalaman-pengalaman yang mereka peroleh dari nenek moyang mereka.
Jadi di tempat pembuatan perahu ini, jangan juga berharap ada rancangan kerangka perahu pada kertas gambar, atau alat-alat canggih yang biasa dipakai dalam pembuatan kapal-kapal modern. Di sini perahu dibuat secara langsung tanpa desain dan tanpa rancangan. “Semua dilakukan pakai perasaan perajinnya saja,” kata Pak Ali Shodikin, salah satu pemilik mebel pembuat perahu yang terletak 100 meter sebelah timur Balai Desa Kandang Semangkon.
Proses pembuatannya juga masih sangat sederhana. Di mebel milik pak Ali Shodikin yang berdiri sejak tahun 2009 ini misalnya, mesin hanya digunakan untuk memotong kayu. Mesin ini bernama denso atau dalam bahasa inggris disebut chainsaw, mesin gergaji besar yang digerakkan oleh diesel.
Untuk bagian-bagian yang melengkung seperti alas perahu, kayu dipanggang di atas api dan diberi pemberat (batu) pada salah satu ujungnya hingga lengkung yang dikehendaki. Lagi-lagi tidak ada perhitungan berapa lama kayu harus dipanggang. Semua tergantung “rasa” si perajin. Jika lengkung yang diingginkan dirasa cukup, saat itu juga kayu diangkat.
Perahu-perahu nelayan di pesisir Lamongan ini bukan hanya cara pembuatannya saja yang tradisional, namun perlengkapan kapalnya juga masih minim. Tidak ada alat pendeteksi karang atau pendeteksi ikan. Maksimal, para nelayan hanya membawa GPS untuk mendeteksi tempat yang sudah dilaluinya.
Jati paling oke
Karena digunakan untuk melaut dengan konsekuensi berhadapan air asin yang mudah merusak kayu, pemilihan bahan baku tidak boleh sembarangan. Untuk bagian alas bawah, Pak Ali Shodikin hanya percaya pada kayu jati jenis TPK (Tempat Penimbunan Kayu) milik perhutani. Kayu jati ini merupakan jenis kayu jati kualitas terbaik. Salah satu yang membedakannya dengan kayu jati biasa atau yang biasa disebut jenis AB (milik rakyat) adalah cara menebangnya. Kayu jati TPK baru ditebang 1 tahun setelah pohonnya dimatikan. Dengan demikian tekstur kayunya lebih keras dan kandungan air di dalamnya sudah kering.
Jika dibandingkan dengan kayu jati jenis AB yang sudah kering karena dijemur, kayu jati TPK tetap jauh lebih baik. Karena itu juga kayu ini harganya lebih mahal, yakni Rp. 12 juta per meter kubiknya.
Untuk bagian kerangka dalam perahu, yang terdiri dari tempat penyimpanan ikan hasil melaut, tempat mesin, tempat pengemudi, dan sebuah kamar untuk para nelayan beristirahat, biasa digunakan kombinasi antara kayu jati dan kayu mahoni. Ini dilakukan untuk menekan biaya produksi, karena harga kayu mahoni lebih murah daripada kayu jati.
Harga satu perahu tergantung dari besar ukuran dan kombinasi jenis kayu yang digunakan. Untuk perahu ukuran 7-9 meter dengan tinggi sekitar 6 meter, dan lebar sekitar 4 meter, berkisar antara 500-700 juta per unit. Kapasitasnya bisa mencapai 50 ton, masih renggang untuk menampung seekor paus jenis grey whale, Wow!
Perahu, Den Jon, Atau Kosen?
Jika teliti, ketika berada di pelabuhan atau TPI Brondong, Anda akan melihat bentuk perahu yang tidak selalu sama antara satu dengan lainnya di luar masalah ukuran. Bukan karena kebetulan, tapi perahu-perahu di sana memang dibuat dengan dua model. Yakni model asli yang biasa disebut “Perahu” saja, dan model lain yang dikenal dengan nama “Den Jon”.
Perbedaan keduanya memang tidak signifikan, yang paling kentara terletak di bagian ujung depan dan belakang perahu yang biasa disebut linggi haluan. Jenis asli Perahu memiliki ujung depan yang menjulang lancip dan tinggi, sementara Den Jon ujungnya papak dan sedikit lebih rendah.
Sedang jika Anda merapat ke TPI Kranji, bentuk perahunya lain lagi. Tidak ada linggi haluan yang tinggi, tapi bagian belakang lebih unik. Jika dilihat dari samping nampak miring lurus, tidak melengkung layaknya model Perahu dan Den Jon. Model yang disebut Kosen ini juga diberi tambahan kayu sebagai linggi buritan, mirip bumper mobil sedan.
“Ini bukan semata masalah fungsi. Tapi biar jadi penilaian orang yang melihat, model mana yang lebih ‘ganteng’?” gurau seorang perajin sambil tertawa.