
Kita tentu tahu kerajinan tenun ikat. Pasti juga kita pernah mendengar kain tenun ikat asli Jepara, Sintang, atau Toraja. Namun, bagi Anda yang tinggal di Jawa Timur dan menginginkan pakaian berbahan kain tenun ikat yang berkualiatas, tidak perlu jauh-jauh ke Jepara, Jawa Tengah apalagi sampai ke Toraja, Sulawesi Selatan. Karena di Lamogan juga ada industri serupa yang tak kalah dari ketiganya.
Memang, urusan pamor, tenun ikat asli Lamongan jelas di bawah. Namun jangan salah kira, soal kualitas, hasil salah satu produk kebanggaan Kota Soto ini sudah sampai ke pasar Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Irak, dan Mesir.
Jika ingin tahu, kita bisa datang ke Desa Parengan, Kecamatan Maduran. Lebih jelas lagi jika kita langsung berkunjung ke Butik Paradila. Butik ini menyediakan kain dan pakaian jadi seperti baju dan sarung, serta perlengkapan perabot hasil kerajinan tenun ikat.
Berawal dari keinginan meneruskan cita-cita orang tua, usaha butik Paradila yang bukan hanya sebagai penerima stok kain tenun ikat, namun juga sebagai produsen langsung, ini dijalankan. Pada tahun 1987, dengan modal seadanya, Pak Miftakhul Choiri mencoba peruntungannya di bidang bisnis tekstil.
Pengetahuan Pak Mif, sapaan akrab Miftakhul Choiri yang juga berprofesi sebagai guru ini, dalam hal menenun didapat langsung dari orang tuanya. Kebetulan Desa Parengan merupakan salah satu desa yang masih menekuni tradisi menenun secara turun-temurun hingga kini.
Untuk urusan kualitas kain tenun buatan Paradila, jangan ditanya. Butik ini hanya mengunakan benang dengan mutu bagus dari Cina dan India. Jenis-jenis benang yang dipakai yakni jenis stafel fiber, mercerized, dan sutera. Ketiga benang ini secara berurutan menunjukkan kualitas yang semakin bagus. “Sempat mencoba menggunakan benang buatan dalam negeri, namun hasilnya tidak memuaskan, tidak sebagus benang dari luar,” ujar Mas Lubam, salah satu menantu Pak Mif yang tahu banyak tentang seluk-beluk kain tenun.
Selain benang, bahan utama lain dalam proses tenun ikat, yakni zat pewarna, juga merupakan barang impor. Zat pewarna memang sengaja menggunakan zat kimia. Ini tentu berbeda dengan kain-kain tenun ikat dari daerah Toraja atau Sintang yang menonjolkan kealamian bahan baku. Kain tenun buatan Paradila lebih mengutamakan kualitas. “Kalau pewarna kimia, selain lebih awet, di kain juga lebih bagus meresapnya,” imbuh Mas Lubam.
Meski bahan-bahan yang dipakai umumnya bahan impor, namun alat tenun yang digunakan butik Paradila masih berupa Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Selain untuk tetap menjaga tradisi, pemakaian ATBM juga untuk menjaga kualitas kain tenun ikat buatannya. Dengan ATBM, perajin lebih memerlukan keahlian khusus ketimbang dengan alat tenun yang digerakkan oleh mesin (ATM). Untuk satu helai kain, para perajin di Butik Paradila bisa menyelesaikannya dalam waktu 1 sampai 2 hari.
Buat Anda yang belum begitu ngeh dengan kain tenun ikat, kain ini berbeda dengan kain songket. Tenun ikat menggunakan benang pakan dan benang lungsin/lusi sebagai bahan utamanya. Benang pakan adalah istilah yang digunakan pada benang yang dimasukkan melintang saat menenun. Sementara benang lungsin adalah benang yang membujur. Saat proses penenunan, Anda akan melihat benang pakan digerakkan dengan tangan dan benang lungsin dipasang sejajar pada ATBM maupun ATM.
Sedangkan kain hasil songket merupakan kain dengan hiasan benang timbul. Biasanya menggunakan benang emas atau perak untuk memberikan kesan mengkilau pada kain. Perbedaan lain terletak pada hasil motifnya. Kain tenun ikat antara bagian luar dan dalamnya bermotif sama. Sedangkan kain songket hanya bagian luar saja yang tampak hiasan benang, bagian dalamnya tak tampak. Meski begitu, proses menyongket jauh lebih rumit daripada menenun ikat, karena dibutuhkan ketelitian untuk membentuk sebuah pola hiasan.
Sebenarnya tenun ikat dan songket bukanlah dua hal yang sama sekali terpisah. Karena dalam sebuah kain tenun ikat bisa juga ditambahkan hiasan songket di dalamnya. Pasalnya dalam proses menyongket juga melewati tahap penenunan.
Di butik Paradila ini misalnya, selain kain dan pakaian hasil murni tenun ikat, di beberapa model lain juga ditambahkan hiasan dengan teknik songket, terkadang juga di lekatkan pada kain doby, yakni kain sejenis katun yang bermotif timbul.
Untuk masalah desain, Paradila yang pernah mendapatkan penghargaan Muri dengan membuat kain tenun ikat terpanjang, yakni sepanjang 60 meter ini, rutin meng-upgrade diri mengikuti perkembangan zaman agar pembeli tidak cepat bosan. “Pak Mif sendiri yang membuat desain. Seperti model gunungan, dibuat berdasarkan pengembangan-pengembangan dari desain yang lama, seperti itu,” tandas Mas Lubam sambil menunjuk salah satu kain yang dipajang di dinding butik.
Untuk harganya, kain dan pakaian dibanderol antara Rp 85.000 sampai sekitar Rp 500.000-an, tergantung jenis, bahan, dan tingkat kesulitan pembuatannya. Saat ini Paradila memiliki 4 perwakilan yang tersebar di kota-kota besar, yakni Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Samarinda.
Berasal dari Babat
Keahlian warga Desa Parengan dan sekitarnya dalam memenun ikat pertama kali didapat pada masa kependudukan Belanda, tahun 1924. Saat itu seorang warga Desa Babat (saat ini Kecamatan Babat) bernama Sumowiharjo membuka sebuah yayasan bernama Purwokriyo yang memberikan pelajaran menenun ikat secara cuma-cuma.
Mendengar kabar itu, banyak warga Parengan dan sekitarnya berbondong-bondong belajar ke yayasan tersebut. Selain lihai dalam menenun, Sumowiharjo juga handal dalam membuat ATBM, yang tidak banyak orang memiliki keahlian serupa. Maka jangan heran di masa Belanda, ATBM yang tersebar di Kabupaten Lamongan umumnya buatan Sumowiharjo.
Sayang disayang, meski berasal dari Babat, kini warga kecamatan yang terkenal dengan sebutan Kota Wingko ini hampir tidak ada yang berkecimpung di industri tenun ikat. Nama Sumowiharjo sendiri hanya diabadikan sebagai nama sebuah jalan, yang mungkin tidak banyak orang tahu sumbangsihnya di masa lalu. Justru saat ini warga Desa Parengan yang berjarak sekitar 35 km dari Kecamatan Babat yang mewarisi keahlian tersebut. Ah, ternyata belum tentu benar kata pepatah, buah jatuh bisa saja puluhan kilometer dari pohonnya.
Butik Paradila
Desa Parengan, Kecamatan Maduran
Depan SMA Muhammadiyah 3 Parengan
Telp. (0322) 392506
Perwakilan:
Jakarta: Muhammad Hilal
Jalan H. Abdulgani No. 468. Kp Utara, Ciputat, Jakarta Selatan
(021) 74713821
Jalan Cempaka Putih Putih Raya A-17 Jakarta Pusat
(021) 4244123
Bandung: M. Layen Junaedi
Cigondewan Hilir Margaasri
(022) 5422158
Samarinda: Ismail
Perum Pondok Karya Lestari Blok D 532
RT 14 Sugai Kapih Samarinda Ilir
(0541) 240144
Surabaya: Gedung Promosi P3ED
Jalan Kedungdoro 86-90
(021) 5343807.