Jika kita melakukan ziarah Walisongo, kita akan banyak berkeliling Jawa Timur. Karena memang lima dari sembilan makam wali tersebut berada di provinsi ini. Salah satunya adalah makam Sunan Drajat.
Makam Sunan yang bernama asli Raden Qosim ini berada di desa Drajat, kecamatan Paciran, Lamongan. Berada sekitar 1 km sebelah selatan pertigaan Drajat di Pantura (Pantai Utara) Lamongan, atau sekitar 29 km sebelah utara pertigaan Sukodadi.
Saat memasuki kompleks makam Sunan Drajat, kita akan disambut dengan bangunan yang sebagian besar terbuat dari kayu dan batuan yang tersusun tanpa semen. Bangunan ini memang menjadi ciri khas makam yang dipugar tahun 1992 tersbut. Berbeda dengan kompleks makam Sunan Ampel di Surabaya dan Sunan Bonang di Tuban yang merupakan ayah dan saudara kandung Sunan Drajat. Kompleks makam dua sunan tersebut tampak lebih modern.
Pepohonan yang rindang menjadi peneduh di kompleks makam ini. Cukup membuat sejuk, mengingat daerah Drajat yang termasuk pesisir mempunyai cuaca yang panas. Dari gerbang masuk, kita akan melewati jalan setapak menuju ke makam Sunan Drajat. Di kiri kanan jalan setapak ini kita bisa melihat banyak makam lain dan di antara pepohonan.
Di sepanjang jalan menuju ke makam ini juga kita akan menaiki beberapa anak tangga. Di setiap tingkatan anak tangga tersebut, kita akan menemui tulisan satu demi satu dari tujuh filosofi ajaran Sunan Drajat dalam menyebarkan Islam.
Ketujuh filosofi itu adalah:
- Memangun resep tyasing sasomo (Kita harus selalu membuat senag hati orang lain).
- Jroning suka kudu eling lan waspada (Dalam suasana riang, kita harus ingat dan waspada).
- Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (Dalam perjalanan mencapai cita-cita luhur, kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan).
- Meper hardaning pancadriya (Kita harus selalu menekan gelora hawa nafsu).
- Heneng-hening-henung (Dalam keadaan diam, kita akan memperoleh keheningan dan dalam hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur).
- Mulya guna panca waktu (Suatu kebahagiaan lahir batin akan kita capai dengan sholat lima waktu).
- Menehana teken marang wong kang wuta, Menehana mangan marang wong kang luwe, Menehana busana marang wong kang weda, Menehana ngiyop marang wong kang kodanan.
Saya orang Jawa tulen asli Lamongan tapi hanya filosofi terakhir ini saja yang saya tahu artinya dengan pasti: Berikan tongkat pada orang yang buta, berikan makan pada orang yang lapar, berikan pakaian pada orang yang telanjang, serta beri naungan pada orang yang kehujanan.
Maksud dari filosofi ini adalah: Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, Serta beri perlindungan pada orang yang menderita.
Sunan Drajat menyiarkan agama Islam lewat tembang-tembang macapat yang berbentuk pangkur. Masyarakat yang dulunya memiliki kepercayaan animisme-dinamisme ‘tersihir’ dengan nada-nada pangkur yang berisi kandungan Al-Qur’an yang dibawakan olehnya.
Sunan Drajat juga dikenal dengan tutur katanya yang menyejukkan. Oleh karena itu, ia mendapat julukan Sunan Mayang Madu dari Raden Patah, sultan Kerajaan Demak. “Mayang berati kembang (bunga) dan madu berarti mengobati. Ini sebagai ungkapan yang menggambarkan setiap tutur beliau yang menyejukkan,” ucap Pak Edi, juru kunci makam Sunan Drajat.
Sunan Drajat menggunakan media gamelan untuk iringan tembang mocopatnya. Dan gamelan-gamelan tersebut masih tersimpan di dalam museum yang letaknya di sebelah timur makam. Selain gamelan, di dalam museum juga terdapat kitab-kitab yang dulunya milik Sunan Drajat, juga keramik dalam bentuk piring, mangkuk, sendok, dan lain-lain. Selain barang tersebut, masih banyak peninggalan Sunan Drajat lainnya di museum ini.
Makam Sunan Drajat ini di buka setiap hari 24 jam, namun untuk museumnya hanya buka pagi hingga menjelang petang. Makam ini jarang terlihat sepi oleh pengunjung, dan akan sangat ramai di hari-hari besar islam seperti di bulan Rajab atau Romadhon.
Selain pengunjung dari Lamongan sendiri, banyak juga pengunjung yang berasal dari luar kota. Mereka biasanya datang dalam rangka ziarah Walisongo. Seperti yang dilakukan oleh Santri dari Pondok Pesantren di Gondang Legi, Malang. “Ini kunjungan keempat kami setelah mendatangi makam-makam lainnya,” kata Ahmad, salah panitia dari Pesantren tersebut.
Setelah selesai berkunjung, sepanjang jalan keluar dari makam, kita akan melewati pedagang-pedagang yang menjual aneka oleh-oleh baik berupa makanan atau pakaian seperti di kebanyakan makam Walisongo lainnya.
Untuk masuk ke dalam makam sebenarnya tidak dikenakan biaya alias gratis. Namun, apabila Anda datang dengan mengunakan kendaraan pribadi mobil atau bus seperti rombongan dari Pesantren Gondang Legi tadi, Anda akan dikenakan biaya parkir Rp 50.000 dan Rp 1.000 per orang. Makam ini bisa dibilang wajib untuk dimasukkan ke dalam daftar wisata religi Anda. Apalagi jika Anda sedang berada tidak jauh dari wilayah Lamongan.
Rute dari Terminal Bungurasih:
– Naik bus kota jurusan Osowilangun, pilih yang lewat tol. Tarif Rp 5.000,- (AC PATAS).
– Dari Osowilangun, naik bus mini warna hijau jurusan Paciran, minta turun Drajat (bilang Kondektur). Ongkos Rp 9.000,-
– Dari jalan raya ke makam Sunan Drajat bisa naik ojek atau jalan kaki, sekitar 1 km.